Rabu, 13 September 2023

Makalah Ulumul Qur'an

 

BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.(Q.S.An-Nahl 89)
Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an terdiri atas dua kata: ulum dan al-Qur’an. Ulum (علوم) adalah jamak dari kata tunggal ilm (علم), yang secara harfiah berarti ilmu. Sedangkan al-Qur’an adalah nama bagi kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Dengan demikian, maka secara harfiah kata ‘ulumul qur’an’ dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an.
Kata ulum (علوم) merupakan bentuk plural dari dari kata tunggal ilm (علم). Kata ilm adalah bentuk masdar (kata kerja yang dibendakan). Secara etimologis berarti al-fahmu (paham), al-ma’rifah (tahu) dan al-yaqin (yakin).[2] Ketiga istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda dan bisa dikaji lebih mendalam buku-buku perbedaan kosakata bahasa Arab, seperti kitab al furuq al-lugawiyyah karya Abu Hilal al-Askari.
Secara terminologis, ilmu mempunyai definisi-definisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang pendefinisi tersebut.[3] Para filosof mengartikan bahwasanya ilmu adalah konsep yang muncul dalam akal maupun keterkaitan jiwa dengan sesuatu menurut cara pengungkapannya. Para Teologis berpendapat bahwa ilmu adalah sifat yang bisa membedakan sesuatu tanpa kontradiksi. Sedangkan orang-orang bijak mengartikan ilmu sebagai gambaran sesuatu yang dihasilkan dari akal.[4]
Adapun menurut syara’, ilmu adalah mengetahui dan memahami Ayat-ayat Allah dan lafalnya berkenaan dengan hamba dan mahluk-makhluknnya. Dari situlah Imam Ghazali berpendapat bahwasanya ilmu sebagai objek yang wajib dipelajari oleh orang Islam adalah konsep tentang ibadah, akidah, tradisi dan etika Islam secara lahir dan batin.[5]
Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 31-32 “proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” [6]. Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu disamping klasifikasi dan ragam disiplinnya.[7]
Adapun yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an dalam terminologi para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an seperti diformulasikan Muhammad ‘Ali al-S}abuni adalah sebagai berikut:
يقصد بعلوم القرآن الأبحاث التى تتعلق بهذا الكتاب المجيد الخالد من حيث الترول، والجمع،  الترتيب والتدوين ومعرفة اسباب الترول والمكي منه والمدنى ومعرفة الناسخ والمنسوخ والمحكم والمتشابه وغير ذلك من الأبحاث الكثيرة اتى تتعلق بالقرآن العظيم او لها صلة به].…

“Yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an ialah rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an yang agung lagi kekal, baik dari segi (proses) penurunan dan pengumpulan serta tertib urutan-urutan dan pembukuannya, dari sisi pengetahuan tentang asbabun nuzul, makiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukhnya, muhkam mutasyabihnya, dan berbagai pembahasan lain yang berkenaan dengan al-Qur’an.”

Dari definisi Ulumul Qur’an di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi objek utama dari kajian Ulumul Qur’an adalah al-Qur’an itu sendiri.
Selain definisi di atas, masih kita dapati pula definisi yang lain, seperti Manna‘ al-Qattan dalam Mabah}is| fi Ulum al-Qur’an memberikan defenisi Ulumul Qur’an sebagai berikut:

العلم الذى يتناول الأبحاث المتعلقة بالقران من حيث معرفة أسباب النزول, وجمع القران وترتيبه, ومعرفة المكي والمدنى, والناسخ والمنسوخ, والمحكم والمتشابه, إلى غير ذلك مماله صلة بالقران.]
“Ulumul Qur'an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur'an  dari sisi informasi tentang  Asbabun al-Nuzul (sebab-sebab turunnya al-Qur'an), kodifikasi dan tertib penulisan al-Qur'an, ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, nasihk dan mansukh, ayat-ayat muhkam dan mutasyabih dan hal-hal lain yang berkaitan dengan al-Qur'an”.
 “Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an, dari segi urutannya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukjizatnya, nasikh-mansukhnya, dan penolakan/ bantahan terhadap hal-hal yang bias menimbulkan confused (keraguan) terhadap al-Qur’an (yang sering dilancarkan oleh orientalis dan atheis dengan maksud untuk menodai kesucian al-Qur’an) dan sebagainya.”
Dari definisi-definisi Ulumul Qur’an tersebut di atas, kita dapat megambil kesimpulan bahwa Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an.
Ulumul Qur’an berbeda dengan ilmu yang merupakan cabang dari Ulumul Qur’an. Misalnya ilmu Tafsir yang menitikberatkan pembahasannya pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu Qira’at menitikberatkan pembahasannya pada cara membaca lafal-lafal al-Qur’an. Sedangkan Ulumul Qur’an membahas al-Qur’an dari segala segi yang ada relevansinya dengan al-Qur’an. Karena itu, ilmu itu diberi nama Ulumul Qur’an dengan bentuk jamak, bukan Ulumul Qur’an dengan bentuk mufrad.

B.     Hubungan ndari Organisasi dengan Tafsir Al-Qur’an

C.     Sejarah Perubahan dan Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ‘Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul  Qur’an menjelma menjadi suatu cabang disiplin ilmu setelah melalui proses pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal ini tentu banyak Pribadi dan kondisi yang membuatnya  sebagai cabang ilmu yang penting untuk memahami kitab suci Al Qur’an. Berikut ini kita lihat bagaimana alur lahirnya cabang ilmu ini.

1.      Masa Sebelum Penulisan
Di masa Rasulullah dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis.  Para sahabat adalah orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa  Ara yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul SAW. Bila mereka menemukan ksulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW. Sebagai contoh, ketika turun ayat:
Dan mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman…..”( Q.S Al-An’am: 82).  Para sahabat bertannya: “ siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi) dirinya?”. Nabi menafsirkan kata zulm di sini dengan syirik berdasarkan ayat:                                                                                        (sesungguhnya Syirik itu kezaliman yang besar ( Q.S Luqman:13)
Ada tiga faktor yang menyebabkan Ulumul Qur’an tidak dibukukan di masa Rasul dan Sahabat.
1.      kondisinya tidak membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami Al-Qur'an dan rasul dapat menjelaskan maksudnya.
2.      Para sahabat sedikit sekali yang pandai menulis
3.      Adanya larangan Rasul untuk menuliskan selain Al-Qur’an.
Semuanya ini merupakan faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi maupun di zaman sahabat.[17]
2.      Masa Penulisan Ulumul Qur’an
Di zaman khalifah usman Bin Affan wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara penakluk Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan sahabat akan terjadinya perpecahan di kalangan muslimin tentang bacaan Al-Qur’an,  selama mereka tidak memiliki sebuah Al-Qur’an yang menjadi standar bagi bacaan mereka. Sehingga disalinlah dari tulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang disebut Mushaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan ini, maka berarti Usman telah meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Rasm Al-Qur’an atau Ilmu  al- Rasm al- Utsmani.[18]
Di masa Ali terjadi perkembangan baru dalam ilmu Qur’an. Karena melihat banyaknya umat Islam yang berasal dari bangsa non Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab, dan kesalahan pembacaan Al-Qur’an.  Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Al-Qur’an dari keteledoran pembacanya. Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya ilmu nahwu dan I’rab al-Qur’an.[19]
Pada zaman Bani Umayyah, kegiatan para sahabat dan tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Al-Qur’an melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan melalui tulisan atau catatn. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya. Orang yang paling  berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah khalifah yang empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibn al-Zubair dari kalangan sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi’in ialah Mujahid, Atha’, Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Sa’id Ibn Jubair, dan Zaid Ibn Aslam di Madinah. Kemudian Malik bin Anas dari generasi tabi’tabi’in. mereka semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asban al-nuzul, ilmu nasikh danmansukh, ilmu gharib al- Qur’an dan lainnya.
Pada abad ke 2 H ulumul Qu’an memasuki masa pembukuan. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘ulum al-Qur’aniah ( induk ilmu-ilmu Al-Qur’an). Penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn ‘Uyaynah, dan Wali’ Ibn al-Jarrah.
Pada abad ke-3 terkenal seorang tokoh tafsir, yaitu Ibn Jarir al-Thabari. Dia orang pertama membentangkan  berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya atas lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath ( penggalian hukum dari al-Qur’an). Di abad ini juga lahir ilmu asbab al-Nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.
Berikut ini dapat kita lihat karya ulama pada abad ke -3, yaitu:
1.      Kitab Asbab al-Nuzul karangan Ali Ibn Al-Madini
2.      Kitab nasikh dan mansukh, Qiraat dan keutamaan Al-Qur’an disusun oleh Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibn Salam
3.      Kitab tentang ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah karya Muhammad Ibn Ayyub al Dharis[20]
Di abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Qur’an. Adapun Ulama ulumul Qur’an pada masa ini adalah:
1.      Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari, kitabnya ‘Ajaib Ulumul Qur’an.
Isi kitab ini tentang keutamaan Al-Qur’an, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushaf-mushaf, jumlah surah, ayat dan kata –kata Al-Qur’an.
2.      Abu al-Hasan al-‘Asy’ari, kitabnya Al-Mukhtazan fi Ulumul Qur’an
3.      Abu Bakar al-Sijistani, kitabnya Gharib al-Qur’an
4.      Muhammad Ibn Ali al- Adfawi, kitabnya Al- Istighna fi Ulumul Qur’an[21]
Di abad ke-5 muncul pula tokoh dalam ilmu qiraat. Adapun para tokoh serta karyanya adalah;
1.       Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id al- Hufi, kitabnya Al- Burhan fi Ulumul Qur’an dan I’rab Al-Qur’an
2.       Abu Amr al- Dani, kitabnya Al-Taisir fi al-Qiraat al-Sab’I dan Al- Muhkam fi al- Nuqath
3.       Al- Mawardi, kitabnya tentang amtsal Qur’an.[22]
                Pada abad ke-6 lahir pula ilmu Mubhamat al-Qur’an. Abu Qasim Abdur Rahman al-Suahaili mengarang Mubhamat al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal Al-Qur’an yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun al- Afnan Fi ‘Aja’ib al-Qur’an dan kitab Al- Mujtaba fi Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an[23]
Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al’Izz mengarang kitab Majaz al-Qur’an. ‘Alam al- Din al- Sakhawi mengarang tentang Qiraat. Ia menulis kitab Hidayah al- Murtab fi al- Mutasyabih. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail al- Maqdisi, menlis kitab Al- Mursyid al- Wajiz fi ma Yata’allaq bi al- Qur’an al- ‘Aziz.
Pada abad ke-8 H muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Al-Qur’an, seperti berikut ini:
1.      Ibn Abi al- Ishba’, kitabnya tentang badai al-Qur’an. Ilmu ini membahas berbagai macam keindahan bahasa dalam al-Qur’an.
2.      Ibn Qayyim, menulis tentang Aqsamul Qur’an
3.      Najamuddin al-Thufi, menulis tentang Hujaj al-Qur’an. Isi kitab ini tentang bukti-bukti yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menetapkan suatu hukum
4.      Abu Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amstal al-Qur’an
5.      Badruddin al-Zarkasyi, kitanya Al- Burhan fi Ulum Al-Qur’an.[24]
Pada abad ke- 9 muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Qur’an, yaitu:
1.      Jalaluddin al- Bulqini, kitabnya Mawaqi’ al- Ulum min Mawaqi’ al- Nujum. Menurut Al-Suyuthi, Al-Buqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap.  Sebab  dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an
2.      Muhammad Ibn Sulaiman al-Kafiaji, kitabnya Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di dalamnya diterangkan makna tafsir, takwil, al-Qur’an, surat dan ayat. Juga dijelaskan dalam kitabnya itu tentang syarat-syarat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
3.      Jalaluddin al-Suyuthi, kitabnya Al-Tahbir fi Ulum al-Tafsir(873 H). Kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Menurut sebagian Ulama. Kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Al-Suyuthi merasa belum puas, beliau menyusun lagi sebuah kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Di dalam kitab ini terdapat 80 mcam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut al- Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Al-Suyuthi tidak terlihat munculnya penulis yang memiliki kemampuan seperti kemampuannya. Sehingga terjadi kevakuman sejak wafatnya Imam Al-Suyuthi sampai dengan akhir abad ke 13 H.[25]
Sejak penghujung abad ke-13 H hingga abad ke -15, perhatian ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Qur’an kembali bangkit. Kebangkitan ini sejalan dengan kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya.diantara Ulama yang menulis tentang Ulumul Qur’an ialah:
1.      Syeikh Thahir Al-Jazairi, kitabnya Al-Tibyan li Ba’dh Al- Mabahits Al-Muta’alliqah bi Al-Qur’an.
2.      Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi (1332 H) kitabnya, Mahaasin Al-Takwil
3.      Muhammad Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani, kitabnya Manaahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an.
4.      Musthafa Shadiq Al-Rafi’, kitabnya I’jaz Al-Qur’an
5.      Sayyid Quttub, kitabnya Al-Thaswir al-Fanni Fi Al-Qur’an dan Fi Zilal Al-Qur’an
6.      Muhammad Rasyid, kitabnya Tafsir al-Mannar
7.      Shubhi al-Shalih, kitabnya Mabaahits Fi Ulum Al-Qur’an
8.      T.M. Hasbi Ash-Shiddieqi, kitabnya ilmu-ilmu Qur’an
9.      Rif’at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, kitabnya Pengantar ilmu Tafsir
10.  M. Quraish Shihab, kitabnya membumikan Al-Qur’an.[26]
Adapun mengenai kapan lahirnya istilah Ulum Al-Qur’an, terdapat tiga pendapat, yaitu:
1.      Pendapat umum di kalangan para penulis sejarah ‘Ulum Al-Qur’an mengatakan bahwa lahirnya istilah ‘Ulum Al-Qur’an pertama kali ialah pada abad ke-7[27]
2.      Ibn Sa’id yang terkenal dengan sebutan Al-Hufi, dengan demikian menurutnya, istilah ini lahir pada permulaan abad ke-15[28]
3.      Shubhi Al-Shalih berpendapat lain. Menurutnya, orang yang pertama kali menggunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an ialah Ibn Al-Mirzaban. Dia berpendapat seperti ini berlandasan pada penemuannya tentang beberapa kitab yang berbicara tentang kajian Al-Qur’an yang telah mempergunakan istilah ‘Ulum Al-Qur’an. Yang paling awal menurutnya ialah kitab Ibn Al-Mirzaban yang berjudul Al-Hawi Fi ‘Ulum Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-3 H. Hal ini juga disepakti oleh Hasbi As-shiddieqi.[29]

D.    Asbabun Nuzul
1.      Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Secara garis besarnya, sepanjang kenabian Muhammad SAW, paling tidak ada 2 pembagian asbabul nuzul (sebab turunnya) Al-Qur’an. Pertama, dikatakan bahwa ada sebagian besar Al-Qur’an ini yang turunnya ibtida’i artinya turun tanpa sebab. Jenis yang kedua, dimana Al-Qur’an itu turun berdasarkan satu sebab, nuzul bi sabab.
Ada tiga defenisi yang dikemukakan oleh ahli tafsir tentang Asbabun Nuzul:[1]
1.      Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.      Peristiwa-peristiwa pada masa Al-qur’an itu diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan.
3.      Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
2.      Bagaimana cara mengetahui Asbabun Nuzul[2]
Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur’an, atau dari orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
Ibnu Sirin mengatakan “saya pernah bertanya kepada Abidah tentang satu ayat Al-Qur’an, beliau menjawab; Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar sebagaimana orang-orang yang mengetahui di mana Al-Qur’an turun”
Salah satu cara mengetahui Ababun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah apabila perawi sendiri menyatakan lafazh sebab secara tegas, dalam hal ini merupakan nash yang nyata.
3.      Sebab-sebab turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam:[3]
a.       Peristiwa berupa pertengkaran.
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100, dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
 “ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.”
b.      Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Contoh : Saat itu ada seorang Imam sholat dalam keadaam mabuk, sehingga salah mengucapkan surat Al-Kafirun, dan kemudian turunlah surat An-Nisa’ dengan Perintah untuk menjauhi sholat dalam keadaan mabuk.
   Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....”



4.      Peristiwa karena suatu hasrat atau cita-cita[4]
Ini dicontohkan dari sebagian sahabat Rosulullah yang mempunyai 3 cita-cita besar dan salah satunya adalah permintaan Umar kepada Rosulullah tentang maqam Ibrahim.
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
a.       Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْراً
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
b.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
c.       Pertanyaan tentang masa yang akan datang
 “(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
5.      Pembagian dan macam-macam Asbabun Nuzul[5]
Sebab turunnya ayat bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari bentuknya, sebab asbabun nuzul dapat dibagi menjadi dua bentuk, seperti telah diterangkan di permulaan bab ini. Yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua berbentuk pertanyaan.
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sebab al-nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid (sebab turunnya lebih dari satu dan inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun satu) dan  ta’addud al-nazil wa al-sahab wahid (inti persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sedangkan sebab turunnya satu).

E.     Munasabah Al-Qur’an
1.      Pengertian
Kata “munasabah” secara etimologis berarti “musyakalah” (keserupaan) dan kata “muqarabah” (kedekatan). Adapun menurut terminologis para ahli mendefiniskan nya sebagai berikut:
1.      Al-Zarkasyi
Menurut Al-Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat, dan ma’lul. Kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kegunaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”.
2.      Al-Qaththan
Munasabah adalah menghubungkan antara jumlah dengan jumlah dalam suatu ayat, atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat, atau antar surah dengan surah.
3.      Ibnu Al-Farabi
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
4.      Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alsan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat ataupun surat dengan surat.
Secara terminologi (istilah) munasabah didefinisikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dalam redaksi yang lain, dapat dikatakan munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah yang dapat diterima oleh rasio, dengan demikian ilmu ini diharapkan dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahan-Nya terhadap mereka yang meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai wahyu.
Rumusan lain mengatakan bahwa, munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persesuaian antara ayat dengan ayat atau antar surah dengan surah lain, sehingga dapat diketahui alasan penertiban ayat-ayat dan atau surah-surah dalam Al-Qur’an tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa ilmu al-munasabah adalah bersifat ma’qul (rasional), sesuai dengan ungkapan.
Munasabah adalah suatu hal yang rasional , apabila dihadapkan pada akal niscaya dia akan menerimanya.Atas dasar itulah-sebagaimana telah dikemukakan diatas-ilmu ini berupaya menjelaskan segi-segi korelasi antar ayat-ayat dan antar surah-surah dalam Al-Qur’an, baik korelasi iitu berupa ikatan antara yang ‘am (umum) dengan yang khas (khusus), antara yang abstrak dengan yang kongkrit, antara sebab dengan akibat antara ‘illat dengan ma’lulnya, antara yang rasional dengan yang irrasional, atau bahkan antara dua hal yang kontradiktif.
Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali  antara ayat ayat yang satu dengan ayat yang lain, baik dengan yang sebelumnya, maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tampaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah yang satu dari yang lain, seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tampak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghahan Al-Qur’an dan menjangkau sinar petunjuknya.
2.      Munasabah dalam Al-Qur’an
Membicarakan masalah munasabah dalam al-Qur’an, sangat berkaitan erat dengan sistem penertiban ayat dan surat dalam al-Qur’an. Dalam hal ini Manna’ Khalil al-Qattan menyatakan bahwa “Qur’an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, dan surat adalah sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Tertib dan urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taufiqi, ketentuan dari Rasulullah saw dan atas perintahnya”. Hal tersebut merupakan asumsi dari sebuah riwayat, dari Usman bin Abil ‘As berkata: “Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kerabat, …(an-Nahl : 90) dan seterusnya.”
Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam al-Qur’an, dan sekalipun ayat tersebut telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertibnya adalah taufiqi.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar saat ini adala taufiqi, tanpa diragukan lagi. As-Suyuthi menyebutkan hadits-hadits berkenaan dengan surat tertentu mengemukakan : “Pembacaan surat-surat yang dilakukan nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adalah taufiqi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”


3.      Dasar-dasar adanya munasabah diantara ayat-ayat atau surat-surat Al-Qur’an
Asy-syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun massalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
“Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat itu ia bermaksud untuk memahami arti lahiriyyah dari satu kosa kata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir”.

F.      Al-Makkiyah dan Al-Madaniyah
1.      Pengertian Al-Makkiyahd an Al-Madaniyah
Yang dimaksud dengan ilmu Makki dan Madani ialah ilmu yang membahas bagian-bagian dari pada Al-Qur'an Makki dan Madani, baik dari segi makna, cara mengetahui tanda masing-masing, maupun macam-macamnya.
Kata al-makki berasal dari kata “Mekkah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ya’” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makkiyah dan al-madaniy atau al-madaniyah. Secara harfiah, al-makki atau al-makkiyah berarti “yang bersifat Mekkah” atau “yang berasal dari Mekkah”, sedangkan al-madaniy atau al-madaniyah berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atau surah yang turun di Mekkah disebut dengan al-makkiyah dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan al-madaniyah.[1]
Secara istilah al-makki wa al-madani berarti “suatu ilmu yang membahas tentang tempat dan periode turunnya surah atau ayat Al-qur’an, baik Mekkah ataupun Madinah”. Ayat atau surah yang turun pada periode Mekkah disebut dengan ayat/surah makkiyah dan ayat/surah yang turun pada periode Madinah disebut dengan ayat madaniyah.
2.      Penentuan Ayat Al-Makkiyah dan Al-Madaniyyah
Ilmu al-makkiyah dan al-madaniyyah termasuk dalam kategori ilmu riwayah. Justru itu, ia tidak akan dapat dikuasai dan diketahui kecuali melalui riwayat dari sahabat. Karena hanya merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Alqur;an kepada Nabi, dalam suasana, tempat, dan masa tertentu. Atau boleh juga melalui riwayat tabi’n yang mereka terima dari sahabat.
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengetahui ayat al-makkiyah dan al-madaniyyah, yaitu sima’i dan qiyasi(analogi). Yang pertama adalah berdasarkan penjelasan para sahabat secara langsung. Hal ini dapat diketahui melalui riwayat yang telah ditulis oleh para ahli hadits, seperti al-kuttub as-sittah. Dan yang terkhir adalah dengan cara membandingkan tanda-tanda al-makki atau al-madani  dengan struktur ayat yang terdapat dalam surah.
Dalam hal qiyasi ini, para ulama telah membuat tanda atau cirri-ciri masing-masing keduanya yang dapat dijadikan standar untuk menentukan makkiyah atau madaniyah-nya suatu surah/ayat.
Cirri-ciri ayat makkiyah, adalah:
a.       Ayat dan Surahnya pendek dan susunannya jelas
b.      Banyak bersajak
c.       Banyak qasam, tasybih, dan amtsal.
d.      Gaya bahasa al-makkiyah jarang bersifat konkret dan realistis materialis, terutama ketika berbincang tentang kiamat.
e.       Setiap surah yang mengandung lafal kalla termasuk al-makkiyah. Kata kalla dalam Alqur’an terulang 33 kali dalam 15 surah.
f.        Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal ladzina amanu.
g.       Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surag dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
h.       Peletakkan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.[2]
Ciri-ciri ayat madaniyyah adalah:
a.       Setiap surah yang berisi kewajiban atau had adalah madani.
b.      Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madani, kecuali al-ankabut adalah makki.
c.       Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani.[3]
d.      Menjelaskan ibadah, muamalah, had/sanksi, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan social, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang , kaidah hokum, dan masalah perundang-undangan.
e.       Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan yahudi dan nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki daintara sesama mereka.

G.    Al-Muhkam dan Mutashabh
1.      Pengertian
Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Contoh: Surat Al-Baqarah ayat 83, yang Artinya: “Dan (ingatlah) tatkala Kami membuat janji dengan Bani Israil, supaya jangan mereka menyembah melainkan kepada Allah, dan terhadap kedua Ibu Bapak hendaklah berbuat baik, dan (juga) kepada kerabat dekat, dan anak-anak yatim dan orang orang miskin , dan hendaklah mengucapkan perkataan yang baik kepada manusia, dan dirikanlah sholat dan keluarkanlah zakat. Kemudian, berpaling kamu , kecuali sedikit, padahal kamu tidak memperdulikan.
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya. Contoh: Surat Thoha ayat 5, yang Artinya: (Allah) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy’.
Adapun menurut pengertian terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih memiliki arti sebagai berikut:
1.      Menurut kelompok Ahlussunnah, ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melaui takwil (metafora) ataupun tidak. Sementara itu, ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan Hari Kiamat, keluarnya Dajjal, dan arti huruf-huruf muqaththa’ah.
2.      Menurut Al- Mawardi, ayat-ayat muhkam adalah yang maknanya dapat dipahami akal, seperti ayat-ayat mutasyabih adalah sebaliknya.
3.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penakwilan untuk mengetahui maksudnya.
4.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji, sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan.
Pada kesimpulannya, Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.[2]
2.      Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:
هوالّذي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخر متشبهت (ال عمران:)
Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat”. (Q. S. Ali Imron: 7)
Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas, yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Di samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti keterangan ayat 1 surah Hud:
كتب احكمت ايته (هو د:)
Artinya: “Suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi”.
Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Alquran itu rapi dan urut, sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan tidak samar artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal pikiran. Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran ialah karena adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.

H.    Qara’at Al-Qur’an
1.      Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama :
Menurut az-Zarqani.: Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.[2]
Menurut Ibn al Jazari : Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[3]
Menurut al-Qasthalani : Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]
Menurut az-Zarkasyi : Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.[5]
Menurut Ibnu al-Jazari Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya , 6
Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu :
a.       Qira’at berkaitan dengan car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
b.      Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
c.       Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf,
d.      I’rab, itsbat, fashl, dan washil.
2.      Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
a.      Latar Belakang Historis
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :
1.      Suatu ketika Umar bin Khathtab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya : “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an  ini diturunkan dalam tuju huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,” 7
2.      Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
3.      Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat.
b.      Latar Belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
Menurut  analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf  Zai (    ) diganti dengan huruf ra’ (    ) sehingga berubah bunyi  menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.

I.       I’jaz Al-Qur’an
1.      Pengertian I’jaz
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “kata Mukjizat” diartikan sebagai kejadian yang luar biasa yang sukar dijangkau oleh akal pikiran manusia. Pengertian ini punya muatan yang berbeda dengan pengertian I’jaz dalam perspektif Islam.[2]
I’jaz sesungguhnya menetepkan kelemahan  ketika mukjizat telah terbukti, maka yang nampak kemudian adalah kemampuan atau “mu’jiz” (yang melemahkan). Oleh sebab itu I’jaz al-Qur’an menampakkan kebenaran Muhammad dalam pengakuannya sebagai Rasul yang memperlihatkan kelemahan manusia dalam menandingi mukjizatnya.[3]
Kemukjizatan menurut persepsi ulama harus memenuhi criteria 5 (syarat) sebagai berikut:
a.       Mujizat harus berupa sesuatu yang tidak disanggupi oleh Allah Tuhan sekalian alam.
b.      Tidak sesuai dengan kebiasaan dan tidak berlawanan dengan hukum Islam.
c.       Mukjizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seorang mengaku membawa risalah Ilahi sebagai bukti atas kebenaran dan pengakuannya.
d.      Terjadi bertepatan dengan penagakuan nabi yang mengajak bertanding menggunakan mukjizat tersebut.
e.       Tidak ada seorang pun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
 Al-Qur’an oleh Rasulullah digunakan untuk mempersilahkan orang Arab untuk menantang al-Qur’an.[4] Menurut Manna Al-Qaththan bahwa tantangan al-Qur’an terhadap penantangnya ada tiga Tahapan:
a.       Tahapan pertama, tantangan yang bersifat umum mencakup manusia dan jin untuk membuat seperti al-Qur’an (QS. Al-Isra 17: 88)
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآَنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Terjemahannya:
Katakanlah, “sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
b.      Tahapan kedua, tantangan untuk membuat sepuluh surah seperti dalam     (QS. Hud 11: 13)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Terjemahannya:
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah mambuat al-Quran itu”, katakanlah: “(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat yang menyamainya, dan panggillah yang orang-orang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.
c.       Tahapan ketiga, tantangan untuk membuat satu surat saja seperti surat-surat yang ada pada al-Quran seperti dalam (QS. Al-Baqarah 2: 23)
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Terjemahnnya:
Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Miftah Faridh dan Agus Syihabuddin menyatakan mukjizat al-Quran itu dapat dilihat dari beberapa anasir berikut ini:
a.       Gaya bahasa al-Quran yang mengagumkan, yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun
b.      Kandungan al-Quran mengenai sejarah dan ramalan hidup manusia yang menakjubkan
c.       Al-quran sebagi sumber ilmu pengetahuan
d.      Al-Quran sebagai pedoman seluruh kehidupan manusia\
e.       Al-Quran   bebas dari kesalahan-kesalahan
f.        Penerima wahyu al-Quran adalah nabi Muhammad Saw. sebagai seorang rasul yang ummi
g.       Isi al-Quran terpelihara dari pemalsuan
Jika mengacu pada pengertian diatas, maka ada empat unsure mukjizat yaitu: pertama, terjadi pada seseorang yang mengaku nabi. Kedua, mengandung tantangan bagi mereka yang meragukan kenabian. Ketiga, tantangan tersebut tidak dapat dilayani dan keempat hal atau peristiwa yang luar biasa.     
2.      Aspek-aspek I’jaz Al-Quran dan Macam-macam Mukjizat
Menurut Prof. Dr. S. Agil Almunawwar, mukjizat dapat dibagi menjadi dua bagian:
a.       Mukjizat “hissi”, ialah yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dirasa oleh lidah, yang lebih tegas dapat dicapai oleh panca indera. Mukjizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan pada manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan keceerdasan pikirannya, yang tidak cakap pandangan hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya.
b.      Mukjizat “ma’nawi”, ialah mukjizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus dicapai dengan kekuatan “aqli” atau dengan kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mukjizat ini melainkan yang berpikir sehat, bermata hati yang nyalang, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan pikirannya dengan jernih dan jujur.
Kehebatan mukjizat al-Quran nampak pada munculnya berbagai aktifitas penelitian dan pengkajian untuk mengungkap segi I’jaz al-Quran. Ada beberapa komentar ulama mengenai I’jaz al-Quran dan memiliki titik penekanan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

J.      Qashash Al-Qur’an
1.      Pengertian
Secara bahasa kata al-qashshu berarti mengikuti jejak atau mengungkapkan masa lalu. Al-Qashash adalah bentuk mashdar dari qashsha-yaqushshu-qashshan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-Qur’an:
قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا
Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari’. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS Al-Kahfi [18]: 64)
Al-Qashash dalam Al-Qur’an sudah pasti dan tidak fiktif, sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ ۚ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs Ali-Imran [3]: 62)
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf [12]: 111)
Al-Qur’an selalu menggunakan terminologi qashash untuk menunjukkan bahwa kisah yang disampaikan itu benar dan tidak mengandung kemungkinan salah atau dusta. Sementara cerita-cerita lain yang mengandung kemungkinan salah dan benar biasanya bentuk jamaknya diungkapkan dengan istilah qishash.
Dari segi istilah, kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam masa-masa yang saling berurutan. Qashash Al-Qur’an adalah pemberitaan mengenai ihwal umat yang telah lalu, nubuwwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah, sedang, dan akan terjadi.
2.      Macam-macam Qashash Al-Qur’an
Adapun macam-macam qashash Al-Qur’an ada tiga, yaitu:
a.       Kisah para Nabi terdahulu. Cerita ini mencakup dakwah mereka pada kaumnya, mu’jizat mereka, sikap penentang para Nabi, fase dakwah dan perkembangannya, balasan terhadap orang-orang kafir dan para pendusta, seperti cerita Nabi Nuh , Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw., dan lainnya.
b.      Kisah Al-Qur’an yang berkaitan dengan kejadian masa lalu, cerita tentang seseorang yang belum ditetapkan kenabiannya seperti Thalut, Jalut, dua putra Nabi Adam, Ahlul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashab as-Sabti, Maryam, Ashabul Uhdud, Ashabul Fil, dan lainnya.
c.       Kisah yang berkaitan dengan kejadian yang terjadi pada masa Rasulullah seperti Perang Badar, Uhud, dalam surah Ali Imran, Perang Hunain, Tabuk dalam surah At-Taubah, perang Al-Ahzab dalam surah Al-Ahzab, Hijrah, Al-Isra’, dan semacamnya.
3.      Manfaat Qashash Al-Qur’an
Adapun manfaat kisah-kisah Al-Qur’an menurut Manna al-Qattan adalah sebagai berikut:
a.       Untuk menjelaskan prinsip-prinsip ajaran para Rasul. Penjelasan pokok-pokok syariat yang diemban oleh setiap Nabi sebagaimana yang ditegaskan Allah Swt.:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
Dan Kami tidak menutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS Al-Anbiya’ [21]: 25).
b.      Mengokohkan hati Rasulullah dan hati umatnya terhadap agama Allah dan menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman terhadap kemenangan, kebenaran, dan pertolongan-Nya, serta menghancurkan kebatilan dan para pendukungnya. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt.:
وَإِنَّ كُلًّا لَمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ أَعْمَالَهُمْ إِنَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS Hud [11]: 120).
c.       Membenarkan ajaran para Nabi terdahulu, menghidupkan ajaran mereka, dan mengabdikan peninggalan mereka.
d.      Menunjukkan kebenaran Muhammad Saw. dalam risalah dakwahnya dengan memberitakan tentang keadaaan orang-orang terdahulu dalam berbagai macam level generasi yang berbeda.
e.       Membongkar kebohongan Ahli Kitab dengan menjelaskan hal-hal yang mereka sembunyikan, dan menentang apa-apa yang terdapat pada kitab mereka setelah mengalami perubahan dan penggantian, sebagaimana firman Allah Swt.:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar. (QS Ali ‘Imran [3]: 93)
Sesudah Taurat diturunkan, ada beberapa makanan yang diharamkan bagi mereka sebagai hukuman. Nama-nama makanan itu disebut misalnya , dalam surah An-Nisa’ ayat 160 dan surah Al-An’am ayat 146.
f.        Kisah atau cerita merupakan salah satu metode yang cukup baik dalam berdakwah dan ungkapannya lebih cepat menancap dalam jiwa. Sebagaimana firman Allah Swt.:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (QS Yusuf [12]: 111)

K.    Amsal Al-Qur’an
Secara bahasa kata amtsal adalah bentuk jamak dari matsal, mitslu dan matsil. Kata ini memiliki makna yang sama dengan kata syabah, syibh dan syabih. Pengertian amtsal secara bahasa ini ada tiga macam, yaitu :
1.      Perumpamaan, gambaran atau perserupaan
2.      Cerita atau kisah, jika keadaannya sangat menakjubkan
3.      Sifat, keadaan atau tingkah laku.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama. Apa saja itu? yaitu:
Menurut ulama ahli ilmu adab:
وَالْمِثْلُ فِي الْأَدَبِ قَوْلٌ مُحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ بِهِ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِي حُكِىَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِي قِيْلَ لِأَجْلِهِ.
Mitslu dalam ilmu adab adalah ucapan yang disebutkan untuk menggambarkan ungkapan lain yang dimaksudkan untuk menyamakan atau menyerupakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang dituju.
Maksudnya adalah menyerupakan hal yang disebutkan dengan asal ceritanya. Jadi Amtsal/mitslu menurut pengertian ini harus ada asal ceritanya loh. Contohnya yaitu pada ucapan orang Arab: رُبَّ رَمِيَّةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja) artinya yaitu betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran yang dilakukan oleh seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan amtsal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri. Beliau berkata kepada orang yang biasanya berbuat salah tapi kadang-kadang berbuat benar.
Menurut ulama ahli ilmu bayan:
الْمَجَازُ الْمُرَكَّبُ الَّذِي تَكُوْنُ عَلَاقَتُهُ الْمُشَابِهَةُ مَتَى فَشَا إِسْتِعْمَالُهُ
Yaitu majas/kiasan yang majemuk yang keterkaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah penyerupaan. Bentuk amtsal menurut pengertian ini adalah bentuk isti’aarah tamtsiiliyyah, yakni kiasan yang menyerupakan. Seperti:
وَمَا الْمَالُ وَالْأَهْلُوْنَ إِلِّا وَدَائِعُ ◊ وَلَا بُدَّ يَوْمًا أَنْ تُرَدَّ الْوَدَائِعُ
Tiadalah harta dan keluarga melainkan bagaikan titipan, pada suatu hari titipan itu pasti akan dikembalikan.
Dalam syair tersebut, tampak jelas penyair menyerupakan harta dan keluarga dengan benda titipan yang dititipkan oleh seseorang kepada kita, yang sama-sama bisa diambil sewaktu-waktu oleh orang yang menitipkannya. Allah-lah pemilik segala yang ada di alam semesta ini.
Menurut sebagian ulama:
إِنَّهُ إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ حِسِّيَةٍ تَكْسِبُهُ رَوْعَةً وَ جَمَالًا
Mengungkapkan suatu makna yang abstrak dalam bentuk sesuatu yang konkret/nyata yang elok dan indah.
Contohnya seperti ungkapan الْعِلْمُ نُوْرٌ (ilmu itu cahaya). Dalam hal ini menyamakan antara ilmu yang bersifat abstrak dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh penglihatan. Tidak harus selalu ada asal cerita atau majaz murakkabnya.
Menurut Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992: 400): Amtsal adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang logis kepada yang indrawi atau salah satu dari dua indra dengan yang lain karena adanya kemiripan.
Jadi, Amtsal itu adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang menarik, padat dan mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.
Rukun Amtsal
Apakah kalian tahu siapa yang pertama kali menyusun ilmu Amtsalul Quran? Benar, yang yang pertama kali menyusun ilmu amtsal ialah Syaikh Abdur Rahman Muhammad bin Husain An-naisaburi. Kemudian disusul oleh Imam Abdul Hasan bin Muhammad Al-Mawardi, Ibnu Qayyim dan Jalaludin As-Suyuti. Ahli balaghah mensyaratkan bahwa tamsil itu harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu: bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dengan tepat, perumpaannya baik dan sampiran atau kinayahnya harus indah.
Sebagian ulama mengatakan  amtsal memiliki empat unsur, yaitu:
(وجه الشبه) Wajhu Syabah/ segi perumpamaan.
(اداة التشبيه) Adatu Tasybih/ alat yang digunakan untuk tasybih. Yaitu kaf, mitsil, kaanna dan semua lafadz yang menunjukkan makna perseruan
(مشبه) Musyabbah/ yang diseumpamakan.
(مشبه به) Musyabbah bih/ Sesuatu yang dijadikan perumpamaan
Sebagai contoh firman Allah SWT:
مثل الذين ينفقون أموالهم فى سبيل الله كمثل حبّة أنبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبّة , والله يضعف لمن يشاء, والله سميع عليم
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 26)
Penjelasannya, Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “pertumbuhan yang berlipat-lipat”. Ada satu tasybihnya adalah kata ‘matsal’. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.

L.     Aqsam Al-Qur’an
Menurut bahasa, aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam yang berarti sumpah. Sedangkan secara menurut istilah aqsam dapat diartikan sebagai ungkapan yang dipakai guna memberikan penegasan atau pengukuhan suatu pesan dengan menggunakan kata-kata qasam. Namun dengan pemakaiannya para ahli ada yang hanya yang menggunakan istilah al-Qasam saja seperti dalam kitab al-Burhan fi Ulumil Qur’an karangan imam Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi[1]. Ada juga yang mengidofatkanny dengan al-Qur’an, sehingga menjadi Aqsamul Qur’an seperti yang dipakai dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kedua istilah tersebut hanya berbeda pada konteks pemakaian katanya saja, sedangkan maksudnya tidak jauh berbeda.
Kalau demikian maka yang dimaksud dengan aqsamul Qur’an adalah salah satu dari ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang mengkaji tentang arti, maksud, hikmah, dan rahasia sumapah-sumpah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an. Selain pengertian diatas, qasam dapat pula diartikan dengan gaya bahasa Al-Qur’an menegaskan atau mengukuhkan suatu pesan atau pernyataan menyebut nama Allah atau ciptaan-Nya sebagai muqsam bih. Dalam Al-Qur’an, ungkapan untuk memaparkan qasam adakalanya dengan memakai kata aqsama, dan kadang-kadang dengan menggunakan kata halafa.
Contoh penggunaan kedua kata tadi antara lain sebagai berikut:
Artinya: “(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.” (QS. Al-Mujadilah: 18).
Artinya: “Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu Mengetahui”.(Al-Waqi’ah: 76)
Macam-Macam Sumpah
Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan, qasam itu adakalanya zhahir (jelas, tegas) dan ada kalanya mudmar (tidak jelas, tersirat). Zhahir ialah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih, seperti terdapat pada QS al-Qiyamah (75) : 1-2 b
Sedangkan mudhmar yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qasam, seperti terdapat pada QS. Ali imran (3) : 186
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an berkisar antara dua hal. Dia bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur'an.
Pertama: "Orang-orang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: 'Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (At-Taghabun: 7).
Kedua: "Katakanlah: 'Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu ...'." (Saba’: 3).
Ketiga: "Dan mereka menanyakan kepadamu: 'Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?' Katakanlah: 'Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)'." (Yunus: 53).
Keempat: "Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut." (Maryam: 68).
Kelima: "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua." (Al-Hijr: 92).
Keenam: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa’: 65).
Ketujuh: "Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa." (Al-Ma’arij: 40). [2]
Dia bersumpah dengan makhluk-Nya. Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur'an, seperti: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)." (Asy-Syams: 1-7).
"Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan perempuan (3)." (Al-Lail: 3-1).
"Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan malam bila berlalu (4)." (Al-Fajr: 1-4).
"Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8), karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang." (At-Takwir: 5–15).
"Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2)." (At-Tin: 1-2).
Dan, sekali Allah bersumpah dengan Nabi Muhammad saw. karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. "Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan Syirik." (HR Ahmad).[3]
Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur'an terkadang menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak, seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ...." (Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat permintaan), seperti firman Allah SWT, "Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu." (Al-Hijr: 92-93).
Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, "Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit." (Al-Buruj: 1-4). [4]
Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan jawabannya, seperti firman Allah SWT, "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari .... Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ...." (Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, "Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun .... Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (At-Tin:1-4).

M.  Al-Mansikh dan Al-Mansukh
1.      Pengertian Nasikh
Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
a.       Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
 “Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.
Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu:[2]
Pembatalan hukum yan ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c.       Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d.      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang  kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
2.      Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم[4] yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
3.      Syarat, Macam Nasikh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
a)       Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b)       Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c)       Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.
Syarat-syarat nasikh dan mansukh
a)      Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
b)      Dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
c)      Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).

Contoh:
ثماتموالصيامbukan merupakan mansukh dari kalimat إلىالليل (yang dianggap nasikh).
Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
d)      Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
4.      Macam-macam nasikh dan mansukh
a.       Nasikh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :
1.      Nasikh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
2.      Nasikh mumatsil (pengganti serupa)
3.      Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
b.      Nasikh Ghairu Badal (nasikh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
c.       Nasikh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
d.      Nasikh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
e.       Nasikh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
f.        Nasikh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
g.       Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
h.       Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa kata Ulumul Qur’an secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Sedangkan secara terminologi dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1.      Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.      Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya .

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai ulum qur’an, semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah penulis selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Didin Saefuddin. 2005. Pedoman Memahami Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka.
Chirzin, Muhammad.1998. Al-Qur’am dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Http://Harun-Nasution.Blogspot.Com/2012/08/Aqsam-Alquran.Html
Http://Www.Referensimakalah.Com/2012/07/Pengertian-Aqsam-Al-Quran-Sisi-Bahasa.Html
Http://makalahtafsirhadits.blogspot.com/2012/10/aqsam-al-quran.html
Manna’ Khalil Al-Qattan. 2009. (Mabahitsu fi Ulumil Qur’an) Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: PT Halim Jaya.
 Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin,2000. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.. Hal: 205
Muchotob Hamzah. Studi Al-Qur’an Komprehensif. 2003. Yogyakarta: Gama Media.. Hal: 207
 Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.  1998. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal: 213
Jalaluddin asy-Suyuthi, Al-Itqon fii Ulumil Qur’an, Tahqiq M. Abul Fadhl Ibrahim (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashrah, Th. 1408/1998 M), tanpa Cetakan, Juz 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Sejarah Peradaban Dakwah Islam Periode Klasik

  BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut: 1.      ...