Rabu, 13 September 2023

Makalah Sejarah Peradaban Dakwah Islam Periode Klasik

 

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan diAndalusia dan interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.
2.      Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.
3.      Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.[1]
Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat mengalami perkembangan dalam posisi approach (pendekatan). Filsafat, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal, dan radikal, yang mengupas sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa filsafat, berbagai macam ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana corak pemikiran pada masa nabi?
2.      Bagaimana corak pemikiran pada masa Khulafaurrasyidin?
3.      Bagaimana corak pemikiran pada masa tabi'in?
4.      Bagaimana corak pemikiran pada masa Periode Tabi al-Tabi’in?
5.      Bagaimana corak pemikiran pada masa Periode pasca Tabi al-Tabi’in?
6.      Bagaimana Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam?

C.     Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini adalah :
1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Dakwah
2.      Untuk memahami dan mengetahui corak pemikiran pada masa klasik




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Corak Pemikiran Pada Periode Nubuat (Nabi)
Kegiatan dakwah pertama dari para nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhidullah dan beribadah hanya kepada-Nya yang menjadi tugas fitri kemanusiaan sebagai khalifah dan Abdi Allah di muka bumi. Dan disampaikan pula pesan utama tentang perjalanan hidup manusia, yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia di alam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan tugas fitri kemanusiaan).[2]
Adapun tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga perkara. Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah dan ke-Esaan-Nya. Kedua, iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada hari itu. Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Berkenaan dengan missi para nabi dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan pengetahuan tanpa wahyu yang disampaikan Allah kepada nabi-nabi.[3] Para filosof Yunani dan lainnya telah berusaha mempelajari ke-Tuhana-an, maka mereka pun mengemukakan pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhana-an. Sementara para nabi datang membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari 25 nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang diberi al-Kitab, Shuhuf (lembaran wahyu), dan Hikmah. Secara eksplisit nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah nabi Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad saw. selain para nabi, ada seorang hamba Allah swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran oleh Allah SWT diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini menjadi nama salah satu surah dalam mushhaf al-Quran yaitu surah Luqman surah ke 31. Dan dari surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur filsafat dakwah.[4]
Luqman al-Hakim hidup sezaman dengan nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah swt. Luqman ini adalah bapak filsafat selain nabi, sebagai filosof pertama Yunani, yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara nabi Daud a.s hingga sebelum nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20 tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof yang bukan nabi yaitu Luqman dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah nabi terakhir adalah  kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu Ma’syar).[5]

B.     Periode al-Khulafa al-Rasyidun
Estapeta aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir Muhammad saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam ingga bimbingan kehidupan). Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya. Produk pemikiran dan aktivitas dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M)
Perlu diketahui, bahwa futuhat adalah proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara obyektif-proposional terlebih dahulu.[6]
Adapun hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku, banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah mereka memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu. Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak ada kebaikan yang sebaik akal. Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.

C.     Periode Tabi’in
Bicara tentang tabi’in, Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat nabi. Mereka adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (rijal al-dakwah) pada periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.[7]
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah, berpegang teguh pada agama Allah, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode muhaditsin, yang lebih banyak berorientasi pada naql ketimbang ‘Aql sebagaimana digunakan dalam penalaran metode mutakalimin.

D.    Periode Tabi al-Tabi’in
Sebutan Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Periode a dan b dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf disebut periode Khalaf. Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan dakwah. 
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan. Namun dapat ditambahkan bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah, yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak dan bertindak tegas dalam hal kebenaran. Sedangkan hikmah teoritis yang dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.


E.     Pasca Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan 300 tahun setelah zaman nubuwah. Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah.[8]
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna penalaran Isyraqi (iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran masya’I (peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan  Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah, konsep manusia dan konsep alam. Dari kalangan sufi yang menggunakan metode irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah nafsyiyah (internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.[9]

F.      Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan menggunakan alur berpikir kesejarahan. Dengan demikian, maka perkembangannya dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.[
Periode klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi. Pada tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi. Pada periode berikutnya, yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M). yang selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.






BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Filsafat telah berkembang dan berubah fungsi dari induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dan terpisah satu dengan lainnya (interdisciplinary approach), dan lebih kental lagi bahwa filsafat sebagai alat analisis dalam memecahkan permasalahan filosofis dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (philosophical analysis)
Perkembangan filsafat Islam terbagi dalam periode awal jaman permulaan Islam yang dibawa Rasul Muhammad saw., dan khulafa al-Rashidin, periode klasik yang dimulai dari pasca pemerintahan khulafa al-Rashidun sampai awal masa imperialisme Barat, rentang itu dapat pula dimulai dari awal kekuasaan Bani Ummayyah sampai pada kemuduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad ke-19, dan periode modern dan perkembangan filsafat Islam yang mencuat dalam sebuah konferensi pendidikan Islam sedunia.

B.     Saran
Demikianlah pembahasan makalah mengenai corak pemikiran pada masa klasik, semoga dapat bermanfaat bagi rekan sekalian. Kritik dan saran sangat emakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. (Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1. 2004)

Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. (Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke 1. 2002)

Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, (Jakarta: Kencana, 2003)

Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,  (Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004)




[1] Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. (Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1. 2004) h. 27
[2] Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. (Pustaka Bani Quraisy. Bandung. Cet. ke 1. 2004) h. 32
[3] Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. (Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke 1. 2002), h. 150
[4] Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. (Kalam Mulia. Jakarta. Cet. ke 1. 2002), h. 153
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 18.
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, cet. ke 1, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 21
[7] Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. ... , h. 169
[8] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Pustaka Bani Quraiys, cet. ke-1, 2004), h.32.
[9] Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Terj.). Jilid 1 dan 2. ... , h. 170

Makalah Sistem Status dan Lapisan Sosial

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi sampai ke yang lebih Dalam kehidupan sehari-hari sering kita amati adanya perbedaan status dan peranan antar warga, baik di lingkungan keluarga atau pun masyarakat.
Dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas perbedaan tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan, misalnya ada orang kaya dan ada orang miskin, ada orang yang berkuasa dan ada orang tidak berkuasa, serta ada orang yang dihormati dan ada orang yang tidak di hormati. Gejala di atas menunjukan adanya perbedaan- perbedaan bertingkat dalam masyarakat. Perbedaan bertingkat tersebut dinamakan pelapisan sosial. Pelapisan sosial bersifat umum atau universal artinya selalu di temukan pada setiap kelompok sosial, baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Ada beberapa pendapat pakar tentang pelapisan sosial salah satunya adalah Plato, seorang filsuf (pemikir) yunani, mengatakan bahwa masyarakat negara dapat dibedakan menjadi tiga golongan yakni filsuf sebagai pemimpin negara, prajurit sebagai penjamin terlaksana hukum negara, dan rakyat (petani) sebagai warga negara. Adanya perbedaan dalam masyarakat juga di temukan pada murid plato yaitu aristoteles. Ia mengatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang ada diantara keduanya.
Pendapat kedua pemikir tersebut mengisaratkan bahwa pada zaman kuno, manusia telah mengenal adanya pelapisan-pelapisan dalam masyarakat dalam wujud perbedaan golongan. Jadi pelapisan sosial itu adalah perbedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang tinggi sampai ke yang lebih rendah.atas menunjukan adanya perbedaan- perbedaan bertingkat dalam masyarakat.
Perbedaan bertingkat tersebut dinamakan pelapisan sosial. Pelapisan sosial bersifat umum atau universal artinya selalu di temukan pada setiap kelompok sosial, baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Ada beberapa pendapat pakar tentang pelapisan sosial salah satunya adalah Plato, seorang filsuf (pemikir) yunani, mengatakan bahwa masyarakat negara dapat dibedakan menjadi tiga golongan yakni filsuf sebagai pemimpin negara, prajurit sebagai penjamin terlaksana hukum negara, dan rakyat (petani) sebagai warga negara. Adanya perbedaan dalam masyarakat juga di temukan pada murid plato yaitu aristoteles. Ia mengatakan bahwa masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat dan yang ada diantara keduanya. Pendapat kedua pemikir tersebut mengisaratkan bahwa pada zaman kuno, manusia telah mengenal adanya pelapisan-pelapisan dalam masyarakat dalam wujud perbedaan golongan. Jadi pelapisan sosial itu adalah perbedaan rendah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Sistem Status Dan Pelapisan Masyarakat ?
2.      Apa faktor penyebab terjadinya Pelapisan Masyarakat ?
3.      Apa bentuk-bentuk pelapisan sosial dalam masyarakat ?
4.      Apa unsur – unsur pelapisan dalam masyarakat ?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari sistem status dan pelapisan masyarakat.
2.      Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya pelapisan sosial dalam masyarakat.
3.      Untuk mengetahui Bentuk-bentuk pelapisan social dalam masyarakat.
4.      Untuk mengethui unsur – unsur pelaspisan social dalam masyarakat.




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Sistem Status Dan Pelapisan Masyarakat
Menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu.Oleh karena itu, mereka menuntut gengsi kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan anggota masyarakatyang berada di kelas tinggi. Seseorang yang berada di kelas tinggi mempunyai hak-hak istimewa dibanding yang berada di kelas rendah.[1]
Menurut Pitirim A. Sorokin, pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal tersebut dapat kita ketahui adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Theodorson dkk, di dalam Dictionary of Sociology, bahwa “Pelapisan Masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanent yang terdapat didalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan. Masyarakat yang berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.[2]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai  latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan terjadinya kelompok sosial itu maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau masyarakat yang berstrata.

B.     Sifat Sistem Pelapisan Sosial
Di dalam suatu masyarakat menurut Soekanto (1990) dapat bersifat tertutup (close social stratification) dan terbuka (open social stratification).
1.      Sistem tertutup
Membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dalam suatu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Didalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran (mobilitas yang demikian sangat terbatas atau bahkan mungkin tidak ada).[3]
Contoh masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tertutup adalah masyarakat berkasta, sebagian masyarakat feodal atau masyarakat yang dasar stratifikasinya tergantung pada perbedaan rasial. Sistem pelapisan tertutup kita temui misalnya di India yang masyarakatnya mengenal sistem kasta yakni:
Kasta Brahmana : yang merupakan kastanya golongan – golongan pendeta dan merupakan kasta tertinggi
Kasta Ksatria : merupakan kasta dari golongan bangsawan dan tentara yang dipandang sebagai lapisan kedua.
Kasta Waisya : merupakan kasta dari golongan pedagang yang dipandang sebagai lapisan menengah ketiga.
Kasta Sudra : merupakan kasta dari golongan rakyat jelata
Paria :adalah golongan dari mereka yang tidak mempunyai kasta.[4]
2.      Sistem terbuka
Masyarakat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang dibawahnya (kemungkinan mobilitas sangat besar). Di dalam sistem yang demikian ini setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk jatuh ke lapisan yang ada di bawahnya atau naiknya ke lapisan yang di atasnya.
Sistem yang demikian ini dapat kita temukan misalnya di dalam masyarakat di Indonesia sekarang ini . Setiap orang diberi kesempatan untuk menduduki segala jabatan bila ada kesempatan dan kemampuan untuk itu. Tetapi disamping itu orang juga dapat turun dari jabatannya bila dia tidak mampu mempertahankannya. Status (kedudukan) yang diperoleh berdasarkan atas usaha sendiri disebut “Achieve status”. Dalam hubungannya dengan pembangunan masyarakat , sistem pelapisan masyarakat yang terbuka sangat menguntungkan.[5]
Sebab setiap warga masyarakat diberi kesempatan untuk bersaing dengan yang lain. Dengan demikian orang berusaha untuk mengembangkan segala kecakapannya agar dapat meraih kedudukan yang dicita – citakan . Demikian sebaliknya bagi mereka yang tidak bermutu akan semakin didesak oleh mereka yang cakap , sehingga yang bersangkutan bisa jatuh ke tangga sosial uang lebih rendah.
C.     Perbedaan Sistem Pelapisan Dalam Masyarakat
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Masyarakat dan individu adalah komplementer dapat dilihat dalam kenyataan bahwa:[6]
1.      Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya
2.      Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan menyebabkan perubahan
Ada beberapa pendapat menurut para ahli mengenai strafukasi sosial diantaranya menurut Pitirin Sorikin berpendapat bahwa “pelapisan masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas – kelas   yang   tersusun secara bertingkat”.
Theodorson dkk berpendapat bahwa “pelapisan masyarakat adalah jenjang status dan peranan yang relative permanen yang terdapat dalam sistem sosial didalam hal perbedaan hak, pengaruh dan    kekuasaan”.
Masyarakat yang berstatifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.

D.    Pelapisan Sosial Ciri Tetap Kelompok Social
Pembagian dan pemberian kedudukan yang berhubungan dengan jenis kelamin nampaknya menjadi dasar dari seluruh sistem sosial masyarakat kuno. Di dalam organisasi masyarakat primitifpun dimana belum mengenai tulisan. Pelapisan masyarakat itu sudah ada. Hal itu terwujud berbagai bentuk sebagai berikut:
1.      Adanya kelompok berdasarkan jenis kelamin dan umur dengan pembedaan-pembedaan hak dan kewajiban
2.      Adanya kelompok-kelompok pemimpin suku yang berpengaruh dan memiliki hak-hak istimewa
3.      Adanya pemimpin yang saling berpengaruh
4.      Adanya orang-orang yang dikecilkan diluar kasta dan orang yang diluar perlindungan hukum
5.      Adanya pembagian kerja di dalam suku itu sendiri
6.      Adanya pembedaan standar ekonomi dan didalam ketidaksamaan ekonomi itu secara umum pendapat tradisional tentang masyarakat primitif sebagai masyarakat yang komunistis yang tanpa hak milik pribadi dan perdagangan adalah tidak benar. Ekonomi primitive bukanlah ekonomi dari individu-individu yang terisolir produktif kolektif.

E.     Teori Tentang Pelapisan Sosial
Pelapisan masyarakat dibagi menjadi beberapa kelas : [7]
1.      Kelas atas (upper class)
2.      Kelas bawah (lower class)
3.      Kelas menengah (middle class)
4.      Kelas menengah ke bawah (lower middle class)
Beberapa teori tentang pelapisan masyarakat dicantumkan di sini :
Aristoteles mengatakan bahwa di dalam tiap-tiap Negara terdapat tiga unsure, yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat sekali, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya.
Dr. Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi SH. MA. menyatakan bahwa selama di dalam masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai olehnya dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai.
Vilfredo Pareto menyatakan bahwa ada dua kelas yang senantiasa berbeda setiap waktu yaitu golongan Elite dan golongan Non Elite. Menurut dia pangkal dari pada perbedaan itu karena ada orang-orang yang memiliki kecakapan, watak, keahlian dan kapasitas yang berbeda-beda.
Gaotano Mosoa dalam “The Ruling Class” menyatakan bahwa di dalam seluruh masyarakat dari masyarakat yang kurang berkembang, sampai kepada masyarakat yang paling maju dan penuh kekuasaan dua kelas selalu muncul ialah kelas pertama (jumlahnya selalu sedikit) dan kelas kedua (jumlahnya lebih banyak).
Karl Mark menjelaskan terdapat dua macam di dalam setiap masyarakat yaitu kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi lainnya dan kelas yang tidak mempunyainya dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan di dalam proses produksi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan jika masyarakat terbagi menjadi lapisan-lapisan social, yaitu :
1.      ukuran kekayaan
2.      ukuran kekuasaan
3.      ukuran kehormatan
4.      ukuran ilmu pengetahuan

F.      Faktor Penyebab Terjadinya Pelapisan Masyaraka
Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan prooses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan oleh Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial dan kepemilikan.
1.      Pembagian Kerja
Jika dalam sebuah masyarakat terdapat pembagian kerja, maka akan terjadi ketergantungan antar indivudu satu dengan indivudu yang lain. Seorang yang sukses dalam mengumpulkan semua sumber daya yang ada dan berhasil dalam kedudukannya dalam sebuah masyarakan akan semakin banyak yang akan diraihnya.[8]
Sedangkan yang bernasib buruk berada diposisi yang amat tidak menguntungkan. Semua itu adalah penyebab terjadinya stratifikasi sosial yang berawal dari ketidaksamaan dalam kekuasaan dalam mengakses sumberdaya.
Menurut Bierstedt (1970) , Prasodjo dan Pandjaitan (2003) pembagian kerja adalah :
a)      Merupakan syarat perlu terbentuknya kelas.
b)      Menghasilkan ragam posisi dan peranan yang membawa pada ketidaksamaan sosial yang berakhir pada stratifikasi sosial.
c)      Konflik Sosial
Konflik sosial di sini dianggap sebagai suatu usaha oleh pelaku- pelaku untuk memperebutkan sesuatu yang dianggap langka dan berharga dalam masyarakat. Pemenangnya adalah yang mendapatkan kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Dari sinilah stratifikasi sosial lahir. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan dalam pengaksesan suatu kekuasaan.
2.      Hak Kepemilikan
Hak kepemilikan adalah lanjutan dari konflik sosial yang terjadi karena kelangkaan dari sumberdaya. Maka yang memenangkan konflik sosial akan mendapat akses lebih dan terjadi kelangkaan pada kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut.
Setelah semua akses yang mereka dapatkan, maka mereka akan mendapatkan kesempatan hidup (life change) dari yang lain. Lalu mereka akan memiliki gaya hidup (life style) yang berbeda dari yang lain serta menunjukan dalam simbol-simbol sosial tertentu.[9]
Terjadinya Pelapisan Sosial terbagi menjadi 2,  yaitu:
a)      Terjadi dengan Sendirinya
Proses ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu, tetapi berjalan secara alamiah dengan sendirinya. Oleh karena itu sifat yang tanpa disengaja inilah yang membentuk lapisan dan dasar dari pada pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu, dan kebudayaan masyarakat dimana sistem itu berlaku.
b)      Terjadi dengan Sengaja
Sistem pelapisan ini dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama. Dalam sistem ini ditentukan secara jelas dan tegas adanya kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang.
Di dalam sistem organisasi yang disusun dengan cara sengaja, mengandung 2 sistem, yaitu:
(1)   Sistem Fungsional, merupakan pembagian kerja kepada kedudukan yang tingkatnya berdampingan dan harus bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat.
(2)   Sistem Skalar, merupakan pembagian kekuasaan menurut tangga atau jenjang dari bawah ke atas ( Vertikal ).

G.    Bentuk – bentuk pelapisan masyarakat
Bentuk konkrit daripada pelapisan masyarakat ada beberapa macam. Ada yang membagi pelapisan masyarakat seperti:
1.      Masyarakat terdiri dari Kelas Atas (Upper Class) dan Kelas Bawah (Lower Class).
2.      Masyarakat terdiri dari tiga kelas, yaitu Kelas Atas (Upper Class), Kelas Menengah (Middle Class) dan Kelas Bawah (Lower Class).
Sementara itu ada pula sering kita dengar : Kelas Atas (Upper Class), Kelas Menengah (Middle Class), Kelas Menengah Ke Bawah (Lower Middle Class) dan Kelas Bawah (Lower Class).[10]
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam satu lapisan. (Calhoun dalam Soekanto, 1990) adalah sebagai berikut
a)      Ukuran kekayaan barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisanm teratas. Kekayaan tersebut misalnya: mobil, rumah, tanah, dan sebagainya.
b)      Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas.
c)      Ukuran kehormatan, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
d)      Ukuran ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Para pendapat sarjana memiliki tekanan yang berbeda-beda di dalam menyampaikan teori-teori tentang pelapisan masyarakat. seperti:
1)      Aristoteles
Membagi masyarakat berdasarkan golongan ekonominya sehingga ada yang kaya, menengah, dan melarat.
2)      Dr.Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi SH.MA
Menyatakan  bahwa selama didalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai olehnya dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya makan barang itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.[11]
3)      Vilfredo Pareto
Menyatakan bahwa ada 2 kelas yang senantiasa berbeda setiap waktu, yaitu golongan elite dan golongan non elite.
4)      Karl Marx
Menjelaskan secara tidak langsung tentang pelapisan masyarakat menggunakan istilah kelas menurut dia, pada pokoknya ada 2 macam di dalam setiap masyarakat yaitu kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi lainnya dan kelas yang tidak mempunyai dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan di dalam proses produksi.



H.     Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat
Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestise-nya, dan hak-hak serta kewajibannya. Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan,yaitu:[12]
1.      Ascribed-status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, misalnya masyarakat feodal (bangsawan,kasta)
2.      Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaituAssigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status sering memiliki hubungan erat dengan achieved stastus.
3.      Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis.


BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan teori dan pembahasan dalam makalah ini, maka penulis menyimpulkan bahwa:
Lapisan  masyarakat ( stratifikasi sosial ) adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat ( secara hierarkis ). Kelas-kelas dalam lapisan masyarakat ada tiga yaitu:
1.      Kelas atas.
2.      Kelas menengah.
3.      Kelas bawah.
Sistem lapisan masyarakat terjadi karena dua hal yaitu:
1.      Terjadi dengan sendirinya.
2.      Terjadi dengan seengaja di susun untuk mengejar tumpuan bersama.
3.      Sifat sistem lapisan dalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification ) dan dapat bersifat terbuka (  open social stratification).
4.      Unsur-unsur stratifikasi masyarakat adalah kedudukan dan peranan
Faktor yang menyebabkan terjadinya pelapisan masyarakat yakni:
1.      Pembagian kerja
2.      Konflik social
3.      Hak kepemilikan
Kondisi Yang Mendorong Terciptanya Stratifikasi, yakni
1.      Perbedaan ras dan budaya
2.      Pembagian tugas
3.      Kelangkaan
B.     Saran
Demikian pembahasan makalah mengenai sistem status dan lapisan sosial, semoga dapat bermanfaat bagi rekan pembaca sekalian. kritik dan saran sangat pemakalah harapkan demi untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR  PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. (Jakarta. PT Raja Grafindo, 2000)

Binti Maunah, Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Pendidikan, (Jurnal Pdf, TA’ALLUM, Vol. 03, No. 01, Juni 2015)

Robert, M.Z. Lawang, Teori Sosiologi Mikro dan Makro Jilid I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998)

Indianto Muin, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2004)

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)

Fadhil Nugroho Adi, Jurnal Stratifikasi Sosial, (Jurnal Pdf, 14 November 2012 13.47)

Indianto Muin, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2004)

Fadhil Nugroho Adi, Jurnal Stratifikasi Sosial, (Jurnal Pdf, Tahun 2012)



MAKALAH
SOSIOLOGI PEDESAAN DAN PERKOTAAN
“Sistem Status dan Lapisan Sosial“

 
 


[1] Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. (Jakarta. PT Raja Grafindo, 2000) h. 31
[2] Binti Maunah, Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif Pendidikan, (Jurnal Pdf, TA’ALLUM, Vol. 03, No. 01, Juni 2015) h. 5
[3] Robert, M.Z. Lawang, Teori Sosiologi Mikro dan Makro Jilid I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hal. 42
[4] Indianto Muin, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 48
[5] Robert, M.Z. Lawang, Teori Sosiologi Mikro dan Makro Jilid I, , ...  hal. 45
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 220.
[7] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,  ... hal. 221
[8] Fadhil Nugroho Adi, Jurnal Stratifikasi Sosial, (Jurnal Pdf, 14 November 2012 13.47)     h. 2
[9] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,  ... hal. 224
[10] Indianto Muin, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 51
[11] Indianto Muin, Sosiologi,  ... hal. 53
[12] Fadhil Nugroho Adi, Jurnal Stratifikasi Sosial, (Jurnal Pdf, Tahun 2012) h. 5

Makalah Sejarah Peradaban Dakwah Islam Periode Klasik

  BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut: 1.      ...